Senin, 30 Agustus 2010

Kagum Pada Dunia

egala puji bagi Allah yang telah menurunkan kalam-Nya, Al Qur’an sebagai penyejuk hati. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Sungguh diri ini kadang terkagum-kagum dengan dunia. Begitu terpesona sampai lupa daratan. Dunia pun dikejar-kejar tanpa pernah merasa puas. Sifat qona’ah, merasa cukup dengan setiap nikmat rizki pun jarang dimiliki. Demikianlah watak manusia. Inilah yang terjadi pada banyak orang, termasuk pula pada diri kami.

Dalam kesempatan kali ini, ada ayat yang patut jadi renungan. Semoga bisa menyejukkan hati. Hati yang terkagum-kagum pada dunia, semoga bisa tersadarkan diri. Ayat tersebut adalah firman Allah Ta’ala,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ (20)

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid: 20)

Beberapa faedah yang bisa kita gali dari ayat di atas:

Faedah pertama

Dunia ini hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Karenanya Allah firmankan,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan

Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam ayat lainnya,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imron: 14) Demikianlah Allah menyebutnya dalam rangka menyatakan bahwa dunia itu rendah.

Yang dimaksudkan dunia itu “la’ib” (permainan), adalah sesuatu yang batil. Sedangkan yang dimaksud “lahwu” (melalaikan), adalah segala sesuatu yang melalaikan dan pasti akan lenyap.[1]

Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan, ”Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menceritakan mengenai bagaimanakah hakikat dunia yang sebenarnya. Diterangkan pula bagaimanakah berbagai tujuan dunia serta semangat manusia untuk menggapainya. Sungguh dunia ini benar-benar hanyalah mainan dan melalaikan. Badan jadi dibuat kepayahan dan hati pun dibuat lalai. Inilah realitas yang ada pada pengagung dunia. Lihat saja bagaimana pengagum dunia menghabiskan waktu dan umur mereka dalam hati yang penuh kelalaian, lalai dari dzikir pada Allah, juga lalai dari berbagai ancaman dan peringatan Allah. Lantas lihatlah mereka ketika mereka menjadikan agama sebagai candaan dan kesia-siaan. Hal ini jauh berbeda dengan orang yang sadar akan dunia akhirat (yang pasti ia jumpai). Hati mereka akan senantiasa rindu berdzikir pada Allah, mengenal dan mencintai-Nya. Orang yang memperhatikan akhirat benar-benar akan beramal untuk mendekatkan diri mereka pada Allah.”[2]

Faedah kedua

Dunia ini hanyalah perhiasan. Allah Ta’ala berfirman,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan” Perhiasan yang dimaksud adalah pakaian, makanan, minuman, kendaraan, rumah, istana dan kedudukan. [3]

Faedah ketiga

Dunia jadi ajang berbangga di antara manusia, sibuk dengan memperbanyak harta dan begitu bangga dengan anak. Itulah yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,

وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ

“dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak”.

Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan, “Setiap pengagum dunia begitu saling berbangga satu dan lainnya. Inilah yang sering kita lihat. Mereka sangat ingin sekali tersohor dalam hal itu dari yang lainnya.”[4]

Beliau menjelaskan lagi, “Setiap pengagum dunia akan selalu berbangga dengan banyaknya harta dan anak dari yang lainnya. Ini suatu realitas pada pengagum dunia.”[5]

Lalu bagaimanakah sikap yang benar?

Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan kembali, “Hal ini berbeda dengan orang yang mengenal dunia dan hakikatnya. Ia hanya menjadikan dunia sebagai tempat berlalu, bukan negeri yang ia menetap selamanya. Dunia hanya dijadikan negeri sebagai ajang untuk saling berlomba mendekatkan diri pada Allah. Dunia hanya jadi sarana untuk sampai pada Allah. Jika ia melihat orang yang begitu bangga dan saling berlomba dalam harta dan anak, ia balas dengan berlomba (terdepan) dalam amalan sholih.”[6]

Kalimat terakhir yang dikatakan oleh Syaikh As Sa’di di atas hampir sama dengan ucapan Al Hasan Al Bashri:

إذا رأيت الرجل ينافسك في الدنيا فنافسه في الآخرة

Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam hal dunia, maka unggulilah dia dalam hal akhirat.”[7]

Faedah keempat

Dalam ayat ini Allah Ta’ala berfirman,

كَمَثَلِ غَيْثٍ

seperti hujan”. Ghoits adalah hujan yang datang setelah sebelumnya manusia berputus asa dari turunnya[8]. Ghoits inilah yang disebutkan dalam firman Allah,

وَهُوَ الَّذِي يُنزلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا [وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ]

Dan Dialah yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah yang Maha pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy Syura: 28). Ghoits inilah hujan yang membuat manusia terkagum-kagum karena sudah begitu lama tak kunjung turun.

Faedah kelima

Orang yang terkagum pada dunia dimisalkan dengan orang yang terkagum pada ghoits. Ghoits adalah hujan yang begitu lama dinantikan, sehingga jika hujan tersebut turun, maka orang pun akan terkagum-kagum, merasa takjub. Demikianlah sifat pengagum dunia. Allah Ta’ala berfirman,

كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ

seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani.”

Lihatlah bagaimana tanaman yang tumbuh dari hujan tersebut begitu dikagumi. Demikianlah orang kafir yang mengagumi dunia. Mereka begitu tamak pada dunia dan begitu condong padanya.[9]

Faedah keenam

Allah Ta’ala menjelaskan bagaimanakah sifat dunia. Bagaimanakah keadaan harta dan kemewahan dunia lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا

kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur

Allah Ta’ala menjelaskan bahwa nikmat dunia hanyalah nikmat dan perhiasan sementara yang akan sirna. Allah Ta’ala mensifatinya dengan tanaman yang terlihat kuning, padahal sebelumnya berwarna hijau nan ceria. Tanaman tersebut akhirnya pun hancur kering. Begitulah pula kehidupan dunia. Awalnya berada di masa muda, kemudian beranjak dewasa, lalu dalam keadaan lemah di usia senja. Manusia di masa mudanya begitu enak dipandang dan ia dalam kondisi fisik yang kuat. Kemudian ia pun beranjak dewasa dan berubahlah kondisi fisiknya. Lalu ia beranjak ke usia tua senja, ketika itu dalam keadaan lemah dan sulit untuk bergerak sebagaimana mudanya. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ

Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)[10]

Faedah ketujuh

Ayat di atas menunjukkan bahwa dunia pasti akan sirna. Akhirnya dunia adalah suatu keniscayaan. Akhirat suatu hal yang pasti akan kita temui, tanpa diragukan lagi. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menceritakan ancaman di akhirat dan juga memotivasi untuk meraih kebaikan di negeri yang kekal abadi. Allah Ta’ala berfirman,

وَفِي الآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ

Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.” Di akhirat cuma ada dua kemungkinan, yaitu mendapatkan siksa ataukah mendapatkan ampunan dari Allah dan meraih keridhoaan-Nya.[11]

Faedah kedelapan

Dalam ayat ini kita diperintahkan untuk zuhud pada dunia dan lebih mementingkan akhirat[12]. Karena sungguh, kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.

Disebutkan dalam sebuah hadits, dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَوْضِعُ سَوْطٍ فِى الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

“Satu bagian kecil nikmat di surga lebih baik dari dunia dan seisinya.”[13]

Sungguh, nikmat dunia dibanding dengan nikmat akhirat amat jauh sekali. Namun kenapa kita lebih mengharap dunia dari akhirat? Mengapa kita lebih mengharap ridho manusia daripada ridho Allah?

Alhamdulillah, rampung sudah faedah berharga dari surat Al Hadiid ayat 20. Betapa indahnya jika bisa merenungkan ayat Al Qur’an di bulan suci ini.

Ayat ini adalah sebagai renungan bagi penulis sendiri agar jangan terlalu kagum dengan kehidupan dunia. Akhirat menunggumu di depan. Dunia dengan pasti akan engkau tinggalkan. Dunia hanyalah sebagai tempat untuk mengumpulkan bekal, yaitu mengumpulkan berbagai bekal dengan amalan menuju negeri kekal abadi di akhirat kelak. Jadi janganlah engkau sangka bahwa dunia ini adalah negeri yang akan engkau kekal abadi di dalamnya.

Semoga Allah memudahkan hamba yang faqir ini meraih surga-Nya, negeri yang kekal abadi penuh dengan berbagai nikmat-Nya.

Tips Persiapan Safar

Sudah jadi hal yang begitu ma’ruf di negeri ini, di penghujung bulan Ramadhan, menjelang lebaran atau Idul Fithri, kaum muslimin begitu sibuk untuk mempersiapkan mudik lebaran. Bahkan sejak jauh-jauh hari mereka sudah memesan tiket dan memilih kendaraan yang lebih nyaman nan selamat. Namun amat jarang yang memikirkan bagaimanakah ajaran Islam mengajarkan persiapan untuk melakukan perjalanan jauh. Jika seseorang memperhatikan ajaran tersebut dalam melakukan persiapan perjalanan jauh lantas ia mengamalkannya, maka sungguh mudik yang ia jalani akan begitu berkah. Keberkahan ini diperoleh karena ketaatannya dan semangatnya dalam mengikuti ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Di antara persiapan sebelum mudik:

Pertama, melakukan shalat istikharah terlebih dahulu untuk memohon petunjuk kepada Allah mengenai waktu safar, kendaraan yang digunakan, teman perjalanan dan arah jalan. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ فِى الأُمُورِ كُلِّهَا ، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengajari para sahabatnya shalat istikhoroh dalam setiap urusan. Beliau mengajari shalat ini sebagaimana beliau mengajari surat dari Al Qur’an.

Kedua, jika sudah bulat melakukan perjalanan, maka perbanyaklah taubat yaitu meminta ampunan pada Allah dari segala macam maksiat, mintalah maaf kepada orang lain atas tindak kezholiman yang pernah dilakukan, dan minta dihalalkan jika ada muamalah yang salah dengan sahabat atau lainnya.

Ketiga, menyelesaikan berbagai persengketaan, seperti menunaikan utang pada orang lain yang belum terlunasi sesuai kemampuan, menunjuk siapa yang bisa menjadi wakil tatkala ada utang yang belum bisa dilunasi, mengembalikan barang-barang titipan, mencatat wasiat, dan memberikan nafkah yang wajib bagi anggota keluarga yang ditinggalkan.

Keempat, meminta restu dan ridho orang tua atau keluarga, tempat berbakti dan berbuat baik.

Kelima, melakukan safar atau perjalanan bersama tiga orang atau lebih. Sebagaimana hadits,

الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَالثَّلاَثَةُ رَكْبٌ

Satu pengendara (musafir) adalah syaithan, dua pengendara (musafir) adalah dua syaithan, dan tiga pengendara (musafir) itu baru disebut rombongan musafir.

Yang dimaksud dengan syaithan di sini adalah jika kurang dari tiga orang, musafir tersebut sukanya membelot dan tidak taat. Namun larangan di sini bukanlah haram (tetapi makruh) karena larangannya berlaku pada masalah adab.

Keenam, mengangkat pemimpin dalam rombongan safar yang mempunyai akhlaq yang baik, akrab, dan punya sifat tidak egois. Juga mencari teman-teman yang baik dalam perjalanan. Adapun perintah untuk mengangkat pemimpin ketika safar adalah,

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

Jika ada tiga orang keluar untuk bersafar, maka hendaklah mereka mengangkat salah di antaranya sebagai ketua rombongan.

Ketujuh, hendaklah melakukan safar pada waktu terbaik.

Dianjurkan untuk melakukan safar pada hari Kamis sebagaimana kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Ka’ab bin Malik, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - خَرَجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ فِى غَزْوَةِ تَبُوكَ ، وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis. Dan telah menjadi kebiasaan beliau untuk bepergian pada hari Kamis.

Dianjurkan pula untuk mulai bepergian pada pagi hari karena waktu pagi adalah waktu yang penuh berkah. Sebagaimana do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu pagi,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا

Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.”

Ibnu Baththol mengatakan, “Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan waktu pagi dengan mendo’akan keberkahan pada waktu tersebut daripada waktu-waktu lainnya karena waktu pagi adalah waktu yang biasa digunakan manusia untuk memulai amal (aktivitas). Waktu tersebut adalah waktu bersemangat (fit) untuk beraktivitas. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan do’a pada waktu tersebut agar seluruh umatnya mendapatkan berkah di dalamnya.”

Juga waktu terbaik untuk melakukan safar adalah di waktu duljah. Sebagian ulama mengatakan bahwa duljah bermakna awal malam. Ada pula yang mengatakan seluruh malam karena melihat kelanjutan hadits. Jadi dapat kita maknakan bahwa perjalanan di waktu duljah adalah perjalanan di malam hari. Perjalanan di waktu malam itu sangatlah baik karena ketika itu jarak bumi seolah-olah didekatkan. Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالدُّلْجَةِ فَإِنَّ الأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ

Hendaklah kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena seolah-olah bumi itu terlipat ketika itu.

Kedelapan, melakukan shalat dua raka’at ketika hendak pergi. Sebagaimana terdapat hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا خَرَجْتَ مِنْ مَنْزِلِكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ يَمْنَعَانِكَ مِنْ مَخْرَجِ السُّوْءِ وَإِذَا دَخَلْتَ إِلَى مَنْزِلِكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ يَمْنَعَانِكَ مِنْ مَدْخَلِ السُّوْءِ

Jika engkau keluar dari rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang dengan ini akan menghalangimu dari kejelekan yang berada di luar rumah. Jika engkau memasuki rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang akan menghalangimu dari kejelekan yang masuk ke dalam rumah.”

Kesembilan, berpamitan kepada keluarga dan orang-orang yang ditinggalkan.

Do’a yang biasa diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang hendak bersafar adalah,

أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ

Astawdi’ullaha diinaka, wa amaanataka, wa khowaatiima ‘amalik (Aku menitipkan agamamu, amanahmu, dan perbuatan terakhirmu kepada Allah)”.

Kemudian hendaklah musafir atau yang bepergian mengatakan kepada orang yang ditinggalkan,

أَسْتَوْدِعُكَ اللَّهَ الَّذِى لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ

Astawdi’ukallaha alladzi laa tadhi’u wa daa-i’ahu (Aku menitipkan kalian pada Allah yang tidak mungkin menyia-nyiakan titipannya).

Kesepuluh, ketika keluar rumah dianjurkan membaca do’a:

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

Bismillahi tawakkaltu ‘alallah laa hawla wa laa quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada-Nya, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya).

Atau bisa pula dengan do’a:

اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عليَّ

Allahumma inni a’udzu bika an adhilla aw udholla, aw azilla aw uzalla, aw azhlima aw uzhlama, aw ajhala aw yujhala ‘alayya” [Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan diriku atau disesatkan orang lain, dari ketergelinciran diriku atau digelincirkan orang lain, dari menzholimi diriku atau dizholimi orang lain, dari kebodohan diriku atau dijahilin orang lain].

Tips Ketika Safar

Sebelumnya telah kita kaji bersama mengenai beberapa hal yang mesti dipersiapkan sebelum melakukan safar. Saat ini kita akan melanjutkan bagaimanakah tuntunan yang bisa diamalkan ketika di perjalanan atau ketika safar. Semoga perjalanan mudik kita semakin berkah dengan mengamalkan tips berikut ini.

Membaca Do’a Ketika Naik Kendaraan

Ketika menaikkan kaki di atas kendaraan hendaklah seorang musafir membaca, “Bismillah, bismillah, bismillah”. Ketika sudah berada di atas kendaraan, hendaknya mengucapkan, “Alhamdulillah”. Lalu membaca,

سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ

“Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqriniin. Wa inna ilaa robbina lamun-qolibuun (Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami)[1].

Kemudian mengucapkan, “Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah”. Lalu mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.” Setelah itu membaca,

سُبْحَانَكَ إِنِّى قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِى فَاغْفِرْ لِى فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ

Subhaanaka inni qod zholamtu nafsii, faghfirlii fa-innahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta” (Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku telah menzholimi diriku sendiri, maka ampunilah aku karena tidak ada yang mengampuni dosa-dosa selain Engkau).[2]

Membaca Do’a dan Dzikir Safar

Jika sudah berada di atas kendaraan untuk melakukan perjalanan, hendaklah mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.” Setelah itu membaca,

سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ

Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa inna ila robbina lamun-qolibuun[3]. Allahumma innaa nas’aluka fii safarinaa hadza al birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin ‘alainaa safaronaa hadza, wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil maali wal ahli.” (Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada harta dan keluarga)[4]

Dalam perjalanan, hendaknya seorang musafir membaca dzikir “subhanallah” ketika melewati jalan menurun dan “Allahu akbar” ketika melewati jalan mendaki. Dalam sebuah riwayat disebutkan,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم و أصحابه إذا علوا الثنايا كبروا و إذا هبطوا سبحوا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya biasa jika melewati jalan mendaki, mereka bertakbir (mengucapkan “Allahu Akbar”). Sedangkan apabila melewati jalan menurun, mereka bertasbih (mengucapkan “Subhanallah”).”[5]

Hendaklah Memperbanyak Do’a Ketika Safar

Hendaklah seorang musafir memperbanyak do’a ketika dalam perjalanan karena do’a seorang musafir adalah salah satu do’a yang mustajab (terkabulkan).

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَالْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

Tiga do’a yang tidak diragukan lagi terkabulnya yaitu do’a seorang musafir, do’a orang yang terzholimi, dan do’a orang tua kepada anaknya.[6]

Membaca Do’a Ketika Mampir di Suatu Tempat

Hendaklah seorang musafir ketika mampir di suatu tempat membaca, “A’udzu bi kalimaatillahit taammaati min syarri maa kholaq (Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan setiap makhluk).”

Tujuannya agar terhindar dari berbagai macam bahaya dan gangguan. Dari Khowlah binti Hakim As Sulamiyah, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ

Barangsiapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia mengucapkan, ”A’udzu bi kalimaatillahit taammaati min syarri maa kholaq (Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan setiap makhluk)”, maka tidak ada satu pun yang akan membahayakannya sampai dia pergi dari tempat tersebut.”[7]

Ketika Kendaraan Tiba-tiba Mogok atau Rusak

Jika kendaraan mogok, janganlah menjelek-jelekkan syaithan karena syaithan akan semakin besar kepala. Namun ucapkanlah basmalah (bacaan “bismillah”).

Dari Abul Malih dari seseorang, dia berkata, “Aku pernah diboncengi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tunggangan yang kami naiki tergelincir. Kemudian aku pun mengatakan, “Celakalah syaithan”. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanggah ucapanku tadi,

لاَ تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولَ بِقُوَّتِى وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ

Janganlah engkau ucapkan ‘celakalah syaithan’, karena jika engkau mengucapkan demikian, setan akan semakin besar seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, ‘Itu semua terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi, yang tepat ucapkanlah “Bismillah”. Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan seperti lalat.[8]

Musafir Ketika Bertemu Waktu Sahur (Menjelang Shubuh)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar dan bertemu dengan waktu sahur, beliau mengucapkan,

سَمَّعَ سَامِعٌ بِحَمْدِ اللَّهِ وَحُسْنِ بَلاَئِهِ عَلَيْنَا رَبَّنَا صَاحِبْنَا وَأَفْضِلْ عَلَيْنَا عَائِذًا بِاللَّهِ مِنَ النَّارِ

Samma’a saami’un bi hamdillahi wa husni balaa-ihi ‘alainaa. Robbanaa shohibnaa wa afdhil ‘alainaa ‘aa-idzan billahi minan naar (Semoga ada yang memperdengarkan pujian kami kepada Allah atas nikmat dan cobaan-Nya yang baik bagi kami. Wahai Rabb kami, peliharalah kami dan berilah karunia kepada kami dengan berlindung kepada Allah dari api neraka).[9]


Tips Kembali Dari Safar

Setelah sebelumnya kami mengkaji tips persiapan safar dan tips ketika safar, saat ini kita akan memberikan tips sekembali dari safar. Semoga sajian ini bermanfaat dan bisa diamalkan.

Pertama, memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga ketika ingin kembali dari safar. Bahkan tidak disukai jika datang kembali dari bepergian pada malam hari tanpa memberitahukan pada keluarga terlebih dahulu.

Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نَهَى النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أَنْ يَطْرُقَ أَهْلَهُ لَيْلاً

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk pulang dari bepergian lalu menemui keluarganya pada malam hari.[1]

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لاَ يَطْرُقُ أَهْلَهُ لَيْلاً وَكَانَ يَأْتِيهِمْ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidak pulang dari bepergian lalu menemui keluarganya pada malam hari. Beliau biasanya datang dari bepergian pada pagi atau sore hari.[2]

Kedua, berdo’a ketika kembali dari safar.

Do’a ketika kembali dari safar sama dengan do’a ketika hendak pergi safar yaitu mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar”, kemudian membaca,

سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ

Subhanalladzi sakhkhoro lana hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa inna ila robbina lamunqolibuun[3]. Allahumma innaa nas’aluka fi safarinaa hadza al birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin ‘alainaa safaronaa hadza, wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil maali wal ahli.” (Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada harta dan keluarga)

Dan ditambahkan membaca,

آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ

Aayibuuna taa-ibuuna ‘aabiduun. Lirobbinaa haamiduun (Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji Rabb kami).”[4]

Ketiga, melakukan shalat dua raka’at di masjid ketika tiba dari safar.

Dari Ka’ab, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ ضُحًى دَخَلَ الْمَسْجِدَ ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tiba dari safar pada waktu Dhuha, beliau memasuki masjid kemudian beliau melaksanakan shalat dua raka’at sebelum beliau duduk.[5]


Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan, “Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. Tatkala kami tiba di Madinah, beliau mengatakan padaku,

ادْخُلِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ

Masukilah masjid dan lakukanlah shalat dua raka’at.[6]

Beberapa Keringanan Ketika Safar

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Berikut adalah beberapa keringanan ketika safar sebagai kemudahan yang Allah berikan bagi seorang musafir (orang yang melakukan perjalanan jauh). Semoga bermanfaat.

Pertama, diperbolehkan bagi musafir untuk tidak berpuasa jika mengalami kesulitan untuk berpuasa ketika safar. Jabir bin ‘Abdillah mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”. Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.

Namun apabila tidak mendapati kesulitan untuk berpuasa ketika safar, maka puasa ketika itu lebih afdhol karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak tentu lebih menyenangkan daripada berpuasa sendiri nantinya.

Dari Abu Darda’, beliau berkata,

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَابْنِ رَوَاحَةَ

Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu]

Kedua, mengqoshor shalat yaitu meringkas shalat yang berjumlah empat raka’at (Dzuhur, ‘Ashar dan ‘Isya’) menjadi dua raka’at. Mengqoshor shalat di sini hukumnya wajib sebagaimana hadits dari ‘Aisyah,

فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِى الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِى صَلاَةِ الْحَضَرِ.

Dulu shalat diwajibkan dua raka’at dua raka’at ketika tidak bersafar dan ketika bersafar. Kewajiban shalat dua raka’at dua raka’at ini masih berlaku ketika safar. Namun jumlah raka’atnya ditambah ketika tidak bersafar.[4]

Catatan: Perlu diingat bahwa mengqoshor shalat tetap boleh dilakukan walaupun safar yang dilakukan penuh kemudahan. Keringanan qoshor shalat itu ada karena melakukan safar dan bukan karena alasan mendapat kesulitan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ

Allah ‘azza wa jalla melepaskan dari musafir separuh shalat.”

Lihatlah, dalam hadits ini qashar shalat dikaitkan dengan safar dan bukan dikaitkan dengan kesulitan. Sehingga walaupun safar yang ditempuh penuh kemudahan, tetap masih diperbolehkan untuk mengqoshor shalat.

Ketiga, meninggalkan shalat-shalat sunnah rawatib. Sebagaimana ada beberapa dalil yang menunjukkan hal ini. Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala memberi keringanan bagi musafir dengan menjadikan shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Seandainya shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu disyari’atkan ketika safar, tentu mengerjakan shalat fardhu dengan sempurna (empat raka’at) lebih utama.”

Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih melakukan shalat sunnah qabliyah shubuh ketika bersafar. Begitu pula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap mengerjakan shalat witir. Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan beliau tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.” Shalat malam, shalat Dhuha, shalat tahiyyatul masjid dan shalat sunnah muthlaq lainnya, masih boleh dilakukan ketika safar karena yang tidak nabi.

Tujuh Permasalah Sekitar Safar

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu 'ala Rosulillah wa 'ala aalihi wa shohbihi ajma'in.

Sebelumnya kita telah membahas beberapa kiat seputar safar (serial 1-3) dan terakhir kita telah mengkaji beberapa keringanan ketika safar. Saat ini kami akan melanjutkan dengan pembahasan beberapa permasalahan seputar safar. Semoga bermanfaat.

Masalah 1: Berapa Jarak yang Sudah Dikatakan Bersafar?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan mengqoshor shalat adalah 48 mil (85 km). Sebagian lainnya berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat adalah apabila menempuh perjalanan tiga hari tiga malam dengan menggunakan unta.

Namun pendapat yang tepat dalam masalah ini, tidak ada batasan tertentu untuk jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat. Seseorang boleh mengqoshor shalat selama jarak tersebut sudah dikatakan safar, entah jarak tersebut dekat atau pun jauh (meskipun hanya 60 km). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memberikan batasan dalam hal ini. Begitu pula secara bahasa, tidak disebutkan pula batasannya. Sehingga yang dijadikan patokan adalah ‘urf atau kebiasaan masyarakat setempat. Jika di masyarakat menganggap bahwa perjalanan dari kota A ke kota B sudah disebut safar, maka boleh di sana seseorang mengqoshor shalat dan boleh baginya mengambil keringanan safar lainnya. Atau yang bisa jadi patokan juga adalah jika butuh perbekalan ketika melakukan perjalanan. Inilah pendapat yang dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan ulama Zhohiriyah.

Masalah 2: Kapan Waktu Dibolehkan Mengqoshor Shalat?

Para ulama sepakat, musafir baru boleh mengqoshor shalat setelah ia berpisah dari negerinya. Namun bolehkah ketika sudah berniat safar dan masih di rumah atau di negerinya, ia sudah mengqoshor shalat? Jawabannya, tidak boleh. Ia masih harus menunaikan shalat secara sempurna (tanpa mengqoshor). Ketika ia sudah berpisah dari negerinya, baru ia mulai boleh mengqoshor shalat. Demikianlah pendapat yang lebih tepat. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik, ia berkata,

صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ

Aku pernah shalat Zhuhur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah (masih belum bersafar, pen) sebanyak empat raka’at. Dan ketika di Dzulhulaifah, dikerjakan sebanyak dua raka’at.

Masalah 3: Lama Waktu Seseorang Boleh Mengqoshor Shalat

Seorang musafir boleh mengqoshor shalat selama dia berada di perjalanan. Namun jika dia sudah sampai di negeri yang dia tuju dan tinggal beberapa hari di sana, berapa lama waktu dia masih diperbolehkan mengqoshor shalat?

Dalam masalah ini terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika berniat untuk bermukim lebih dari 4 hari, maka tidak boleh mengqoshor shalat. Ulama lainnya mengatakan bahwa jika berniat mukim 15 hari, maka tidak boleh mengqoshor shalat. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa selama 20 hari boleh mengqoshor shalat, namun jika lebih dari itu tidak diperbolehkan lagi.

Ada pula pendapat lainnya sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu musafir boleh mengqoshor shalat terus menerus selama dia berniat untuk tidak menetap, walaupun itu lebih dari 4, 15 atau 20 hari. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat. Jadi, safar sebenarnya tidak dikaitkan dengan waktu tertentu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengqoshor shalat selama 18, 19, atau 20 hari, itu semua dilakukan karena beliau adalah seorang musafir.

Adapun untuk orang yang sudah menetap dan memiliki tempat tinggal permanen (seperti seorang pelajar yang merantau ke negeri orang dan menetap beberapa tahun di sana), maka kondisi semacam ini sudah disebut mukim dan tidaklah disebut musafir.

Masalah 4: Apakah Bersafar Mesti Menjamak Shalat?

Asalnya, boleh saja bagi musafir untuk menjamak shalat Zhuhur dan Ashar, atau Maghrib dan Isya’. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَجْمَعُ بَيْنَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِى السَّفَرِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika safar”

Namun mestikah setiap bersafar harus dilakukan jamak qoshor (menggabung antara jamak dan qoshor) atau cukup qoshor saja? Sebagaimana yang telah diketahui bahwa yang diwajibkan pada musafir adalah mengqoshor shalat.

Perlu diketahui bahwa musafir itu ada dua macam. Ada musafir saa-ir yaitu yang berada dalam perjalanan dan ada musafir naazil yaitu musafir yang sudah sampai ke negeri yang ia tuju atau sedang singgah di suatu tempat di tengah-tengah safar selama beberapa lama.

Menjama’ shalat yaitu menjamak shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ boleh dilakukan oleh musafir saa-ir maupun musafir naazil. Namun yang paling afdhol (paling utama) untuk musafir naazil adalah tidak menjamak shalat. Musafir naazil diperbolehkan untuk menjamak shalat jika memang dia merasa kesulitan mengerjakan shalat di masing-masing waktu atau dia memang butuh istirahat sehingga harus menjamak. Adapun untuk musafir saa-ir, yang paling afdhol baginya adalah menjamak shalat, boleh dengan jamak taqdim (menggabung dua shalat di waktu awal) atau jamak takhir (menggabung dua shalat di waktu akhir), terserah mana yang paling mudah baginya.

Masalah 5: Tetap Shalat Berjama’ah Ketika Bersafar

Perlu diketahui, menurut pendapat yang paling kuat di antara para ulama, hukum shalat jama’ah adalah wajib bagi kaum pria. Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.”[6]

Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Apabila musafir berada di perjalanan, maka tidak mengapa dia shalat sendirian. Adapun jika telah sampai negeri tujuan, maka janganlah dia shalat sendiri. Akan tetapi hendaknya dia shalat secara berjama’ah bersama jama’ah di negeri tersebut, kemudian dia menyempurnakan raka’atnya (tidak mengqoshor). Adapun jika dia melakukan perjalanan sendirian dan telah masuk waktu shalat, maka tidak mengapa dia shalat sendirian ketika itu dan dia mengqoshor shalat yang empat raka’at (seperti shalat Zhuhur) menjadi dua raka’at.”

Masalah 6: Bermakmum di Belakang Imam Mukim

Ketika seorang musafir bermakmum di belakang imam mukim (tidak bersafar atau menetap), maka dia tidak mengqoshor shalatnya. Namun dia harus mengikuti imam yaitu mengerjakan shalat dengan sempurna (tanpa diqoshor).

Dari Musa bin Salamah, beliau mengatakan,

كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَقُلْتُ إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعاً وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِى الْقَاسِمِ -صلى الله عليه وسلم-.

Kami pernah bersama Ibnu ‘Abbas di Makkah. Kemudian Musa mengatakan, “Mengapa jika kami (musafir) shalat di belakang kalian (yang bukan musafir) tetap melaksanakan shalat empat raka’at (tanpa diqoshor). Namun ketika kami bersafar, kami melaksanakan shalat dua raka’at (dengan diqoshor)?” Ibnu ‘Abbas pun menjawab, “Inilah yang diajarkan oleh Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Masalah 7: Shalat Di Atas Kendaraan Ketika Bersafar

Untuk melaksanakan shalat sunnah, boleh dilakukan di atas kendaraan dan sangat baik jika awalnya menghadap kiblat walaupun setelah itu arahnya berubah. Namun untuk melaksanakan shalat fardhu, hendaknya turun dari kendaraan.

Dari Jabir bin ’Abdillah, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya. Namun jika ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan menghadap kiblat.

Akan tetapi jika seseorang berada di mobil, pesawat, kereta api atau kendaraan lainnya, lalu musafir tersebut tidak mampu melaksanakan shalat dengan menghadap kiblat dan tidak mampu berdiri, maka dia boleh melaksanakan shalat fardhu di atas kendaraannya dengan dua syarat,

  1. Khawatir akan keluar waktu shalat sebelum sampai di tempat tujuan. Namun jika bisa turun dari kendaraan sebelum keluar waktu shalat, maka lebih baik menunggu. Kemudian jika sudah turun, dia langsung mengerjakan shalat fardhu.
  2. Jika tidak mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat. Namun jika mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat fardhu, maka wajib melaksanakan shalat fardhu dengan kondisi turun dari kendaraan.

Jika memang kedua syarat ini terpenuhi, boleh seorang musafir melaksanakan shalat di atas kendaraan. Sehingga dari sini tidak alasan sekali seorang musafir tidak melaksanakan shalat selama ia di perjalanan. Perkara meninggalkan shalat bukan perkara sepele. Meninggalkanya termasuk dosa besar. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”

Demikian beberapa pembahasan kami mengenai tips-tips safar dan mudik lebaran. Semoga Allah menjadi mudik kita menjadi lebih berkah dengan mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tanda Malam Lailatul Qadar

egala puji bagi Allah atas berbagai macam nikmat yang Allah berikan. Shalawat dan salam atas suri tauladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarganya dan para pengikutnya.

Semua pasti telah mengetahui keutamaan malam Lailatul Qadar. Namun, kapan malam tersebut datang? Lalu adakah tanda-tanda dari malam tersebut? Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk mendapatkan malam yang keutamaannya lebih baik dari 1000 bulan.


Keutamaan Lailatul Qadar

Saudaraku, pada sepertiga terakhir dari bulan yang penuh berkah ini terdapat malam Lailatul Qadar, suatu malam yang dimuliakan oleh Allah melebihi malam-malam lainnya. Di antara kemuliaan malam tersebut adalah Allah mensifatinya dengan malam yang penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4)

“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44] : 3-4). Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1)

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar [97] : 1)

Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar [97] : 3-5)

Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi?

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Terjadinya lailatul qadar di tujuh malam terakhir bulan ramadhan itu lebih memungkinkan sebagaimana hadits dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ - يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ - فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى

Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, namun jika ia ditimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang tersisa. (HR. Muslim)

Dan yang memilih pendapat bahwa lailatul qadar adalah malam kedua puluh tujuh sebagaimana ditegaskan oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى

Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari)

Catatan : Hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tentang terjadinya malam lailatul qadar di antaranya adalah agar terbedakan antara orang yang sungguh-sungguh untuk mencari malam tersebut dengan orang yang malas. Karena orang yang benar-benar ingin mendapatkan sesuatu tentu akan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Hal ini juga sebagai rahmat Allah agar hamba memperbanyak amalan pada hari-hari tersebut dengan demikian mereka akan semakin bertambah dekat dengan-Nya dan akan memperoleh pahala yang amat banyak. Semoga Allah memudahkan kita memperoleh malam yang penuh keberkahan ini. Amin Ya Sami’ad Da’awat.

Tanda Malam Lailatul Qadar

[1] Udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء

Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh /terpercaya)

[2] Malaikat menurunkan ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah, yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.

[3] Manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.

[4] Matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/149-150)

Manantikan Malam 1.000 Bulan

Mengenai pengertian lailatul qadar, para ulama ada beberapa versi pendapat. Ada yang mengatakan bahwa malam lailatul qadr adalah malam kemuliaan. Ada pula yang mengatakan bahwa lailatul qadar adalah malam yang penuh sesak karena ketika itu banyak malaikat turun ke dunia. Ada pula yang mengatakan bahwa malam tersebut adalah malam penetapan takdir. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa lailatul qadar dinamakan demikian karena pada malam tersebut turun kitab yang mulia, turun rahmat dan turun malaikat yang mulia.[1] Semua makna lailatul qadar yang sudah disebutkan ini adalah benar.

Keutamaan Lailatul Qadar

Pertama, lailatul qadar adalah malam yang penuh keberkahan (bertambahnya kebaikan). Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ , فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan: 3-4). Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar: 1)

Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ , تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ , سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر

Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar: 3-5). Sebagaimana kata Abu Hurairah, malaikat akan turun pada malam lailatul qadar dengan jumlah tak terhingga.[2] Malaikat akan turun membawa kebaikan dan keberkahan sampai terbitnya waktu fajar.[3]

Kedua, lailatul qadar lebih baik dari 1000 bulan. An Nakho’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.”[4] Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar.[5]

Ketiga, menghidupkan malam lailatul qadar dengan shalat akan mendapatkan pengampunan dosa. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[6]

Kapan Lailatul Qadar Terjadi?

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.”[7]

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.”[8]

Lalu kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi? Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh beliau adalah lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun[9]. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, itu semua tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى

Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.”[10] Para ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tanggal pasti terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat untuk mencarinya. Hal ini berbeda jika lailatul qadar sudah ditentukan tanggal pastinya, justru nanti malah orang-orang akan bermalas-malasan.[11]

Do’a di Malam Qadar

Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata,

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى

Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab,”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).”[12]

Tanda Malam Qadar

Pertama, udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء

“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.”[13]

Kedua, malaikat turun dengan membawa ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.

Ketiga, manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.

Keempat, matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,

هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا.

Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh (dari bulan Ramadlan). Dan tanda-tandanya ialah, pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa sinar yang menyorot. [14][15]

Bagaimana Seorang Muslim Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?

Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah. Barangsiapa yang terluput dari lailatul qadar, maka dia telah terluput dari seluruh kebaikan. Sungguh merugi seseorang yang luput dari malam tersebut. Seharusnya setiap muslim mengecamkan baik-baik sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فِيهِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

Di bulan Ramadhan ini terdapat lailatul qadar yang lebih baik dari 1000 bulan. Barangsiapa diharamkan dari memperoleh kebaikan di dalamnya, maka dia akan luput dari seluruh kebaikan.”[16]

Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang muslim lebih giat beribadah ketika itu dengan dasar iman dan tamak akan pahala melimpah di sisi Allah. Seharusnya dia dapat mencontoh Nabinya yang giat ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. ‘Aisyah menceritakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.”[17]

Seharusnya setiap muslim dapat memperbanyak ibadahnya ketika itu, menjauhi istri-istrinya dari berjima’ dan membangunkan keluarga untuk melakukan ketaatan pada malam tersebut. ‘Aisyah mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’[18]), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.”[19]

Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk melaksanakan shalat jika mereka mampu.[20]

Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan malam lailatul qadar adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah dan tidak mesti seluruh malam. Bahkan Imam Asy Syafi’i dalam pendapat yang dulu mengatakan, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat Isya’ dan shalat Shubuh di malam qadar, maka ia berarti telah dinilai menghidupkan malam tersebut”.[21] Menghidupkan malam lailatul qadar pun bukan hanya dengan shalat, bisa pula dengan dzikir dan tilawah Al Qur’an.[22] Namun amalan shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar berdasarkan hadits, “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.[23]

Bagaimana Wanita Haidh Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?

Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang yang tidur (namun hatinya dalam keadaan berdzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh Dhohak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.”[24]

Dari riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haidh, nifas dan musafir tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Namun karena wanita haidh dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti itu, maka dia boleh melakukan amalan ketaatan lainnya. Yang dapat wanita haidh lakukan ketika itu adalah,

  1. Membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf.[25]
  2. Berdzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan dzikir lainnya.
  3. Memperbanyak istighfar.
  4. Memperbanyak do’a.[26]

Panduan I'tikaf Ramadhan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Ada suatu amalan di bulan Ramadhan yang mesti kita ketahui bersama demi meraih banyak pahala di bulan tersebut. Amalan tersebut adalah i'tikaf. Bagaimanakah tuntunan Islam dalam menjalankan i'tikaf di bulan Ramadhan? Berikut panduan ringkas yang semoga bermanfaat bagi para pengunjung rumaysho.com sekalian. Semoga Allah senantiasa memberkahi.

I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]

Dalil Disyari’atkannya I’tikaf

Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri'tikaf selama dua puluh hari”.[3]

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri'tikaf setelah kepergian beliau.”[4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]

I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]

I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”. [8]

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?

Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]

Wanita Boleh Beri’tikaf

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ - قَالَ - فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i'tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa'id) berkata: Kemudian 'Aisyah radhiyallahu 'anha meminta izin untuk bisa beri'tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]

Dari ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri'tikaf setelah kepergian beliau.”[15]

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]

Lama Waktu Berdiam di Masjid

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]

Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]

Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]

Yang Membatalkan I’tikaf

  1. Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
  2. Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].

Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

  1. Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
  2. Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
  3. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
  4. Mandi dan berwudhu di masjid.
  5. Membawa kasur untuk tidur di masjid.

Mulai Masuk dan Keluar Masjid

Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ - قَالَ - فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i'tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa'id) berkata: Kemudian 'Aisyah radhiyallahu 'anha meminta izin untuk bisa beri'tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.

Adab I’tikaf

Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan amalan tentunya.

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.

Rabu, 25 Agustus 2010

Panduan Zakat Fitri

Zakat secara bahasa berarti an namaa’ (tumbuh), az ziyadah (bertambah), ash sholah (perbaikan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya.

Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.[1] Ada pula ulama yang menyebut zakat ini juga dengan sebutan “fithroh”, yang berarti fitrah/ naluri. An Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithroh”[2]. Istilah ini digunakan oleh para pakar fikih.

Sedangkan menurut istilah, zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.[3]

Hikmah Disyari’atkan Zakat Fithri

Hikmah disyari’atkannya zakat fithri adalah: (1) untuk berkasih sayang dengan orang miskin, yaitu mencukupi mereka agar jangan sampai meminta-minta di hari ‘ied, (2) memberikan rasa suka cita kepada orang miskin supaya mereka pun dapat merasakan gembira di hari ‘ied, dan (3) membersihkan kesalahan orang yang menjalankan puasa akibat kata yang sia-sia dan kata-kata yang kotor yang dilakukan selama berpuasa sebulan.[4]

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[5]

Hukum Zakat Fithri

Zakat Fithri adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. Bahkan Ishaq bin Rohuyah menyatakan bahwa wajibnya zakat fithri seperti ada ijma’ (kesepakatan ulama) di dalamnya[6]. Bukti dalil dari wajibnya zakat fithri adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.”[7]

Perlu dipehatikan bahwa shogir (anak kecil) dalam hadits ini tidak termasuk di dalamnya janin. Karena ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini kurang tepat karena janin tidaklah disebut shogir dalam bahasa Arab juga secara ‘urf (kebiasaan yangg ada). [8]

Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri

Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh: (1) setiap muslim karena untuk menutupi kekurangan puasa yang diisi dengan perkara sia-sia dan kata-kata kotor, (2) yang mampu mengeluarkan zakat fithri.

Menurut mayoritas ulama, batasan mampu di sini adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang seperti ini berarti dia dikatakan mampu dan wajib mengeluarkan zakat fithri. Orang seperti ini yang disebut ghoni (berkecukupan) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ » فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ قَالَ « أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ

“Barangsiapa meminta-minta, padahal dia memiliki sesuatu yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia telah mengumpulkan bara api.” Mereka berkata, ”Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran mencukupi tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Seukuran makanan yang mengenyangkan untuk sehari-semalam. [9]”[10]

Dari syarat di atas menunjukkan bahwa kepala keluarga wajib membayar zakat fithri orang yang ia tanggung nafkahnya.[11] Menurut Imam Malik, ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama, suami bertanggung jawab terhadap zakat fithri si istri karena istri menjadi tanggungan nafkah suami.[12]

Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar Zakat Fithri?

Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri jika ia bertemu terbenamnya matahari di malam hari raya Idul Fithri. Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fithri. Inilah yang menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i.[13] Alasannya, karena zakat fithri berkaitan dengan hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan demikian (disandarkan pada kata fithri) sehingga hukumnya juga disandarkan pada waktu fithri tersebut.[14]

Misalnya, apabila seseorang meninggal satu menit sebelum terbenamnya matahari pada malam hari raya, maka dia tidak punya kewajiban dikeluarkan zakat fithri. Namun, jika ia meninggal satu menit setelah terbenamnya matahari maka wajib baginya untuk mengeluarkan zakat fithri. Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari maka tidak wajib dikeluarkan zakat fithri darinya, tetapi dianjurkan sebagaimana terdapat perbuatan dari Utsman bin ‘Affan yang mengeluarkan zakat fithri untuk janin. Namun, jika bayi itu terlahir sebelum matahari terbenam, maka zakat fithri wajib untuk dikeluarkan darinya.

Bentuk Zakat Fithri

Bentuk zakat fithri adalah berupa makanan pokok seperti kurma, gandum, beras, kismis, keju dan semacamnya. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa. Namun hal ini diselisihi oleh ulama Hanabilah yang membatasi macam zakat fithri hanya pada dalil (yaitu kurma dan gandum). Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama, tidak dibatasi hanya pada dalil.[15]

Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau gandum karena ini adalah makanan pokok penduduk Madinah. Seandainya itu bukan makanan pokok mereka tetapi mereka mengkonsumsi makanan pokok lainnya, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan membebani mereka mengeluarkan zakat fithri yang bukan makanan yang biasa mereka makan. Sebagaimana juga dalam membayar kafaroh diperintahkan seperti ini. Allah Ta’ala berfirman,

فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ

“Maka kafaroh (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (QS. Al Maidah: 89). Zakat fithri pun merupakan bagian dari kafaroh karena di antara tujuan zakat ini adalah untuk menutup kesalahan karena berkata kotor dan sia-sia.[16]

Ukuran Zakat Fithri

Para ulama sepakat bahwa kadar wajib zakat fithri adalah satu sho’ dari semua bentuk zakat fithri kecuali untuk qomh (gandum) dan zabib (kismis) sebagian ulama membolehkan dengan setengah sho’.[17] Dalil dari hal ini adalah hadits Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan bahwa zakat fithri itu seukuran satu sho’ kurma atau gandum. Dalil lainnya adalah dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,

كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ

“Dahulu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami menunaikan zakat fithri berupa 1 sho’ bahan makanan, 1 sho’ kurma, 1 sho’ gandum atau 1 sho’ kismis.”[18] Dalam riwayat lain disebutkan,

أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ

“Atau 1 sho’ keju.”[19]

Satu sho’ adalah ukuran takaran yang ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama berselisih pendapat bagaimanakah ukuran takaran ini. Lalu mereka berselisih pendapat lagi bagaimanakah ukuran timbangannya.[20] Satu sho’ dari semua jenis ini adalah seukuran empat cakupan penuh telapak tangan yang sedang[21]. Ukuran satu sho’ jika diperkirakan dengan ukuran timbangan adalah sekitar 3 kg.[22] Ulama lainnya mengatakan bahwa satu sho’ kira-kira 2,157 kg.[23] Artinya jika zakat fithri dikeluarkan 2,5 kg, sudah dianggap sah. Wallahu a’lam.

Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang?

Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh menyalurkan zakat fithri dengan uang yang senilai dengan zakat. Karena tidak ada satu pun dalil yang menyatakan dibolehkannya hal ini. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bolehnya zakat fithri diganti dengan uang.

Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah tidak bolehnya zakat fithri dengan uang sebagaimana pendapat mayoritas ulama.

Abu Daud mengatakan,

قِيلَ لِأَحْمَدَ وَأَنَا أَسْمَعُ : أُعْطِي دَرَاهِمَ - يَعْنِي فِي صَدَقَةِ الْفِطْرِ - قَالَ : أَخَافُ أَنْ لَا يُجْزِئَهُ خِلَافُ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .

“Imam Ahmad ditanya dan aku pun menyimaknya. Beliau ditanya oleh seseorang, “Bolehkah aku menyerahkan beberapa uang dirham untuk zakat fithri?” Jawaban Imam Ahmad, “Aku khawatir seperti itu tidak sah. Mengeluarkan zakat fithri dengan uang berarti menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Abu Tholib berkata berkata bahwa Imam Ahmad berkata padanya,

لَا يُعْطِي قِيمَتَهُ

“Tidak boleh menyerahkan zakat fithri dengan uang seharga zakat tersebut.”

Dalam kisah lainnya masih dari Imam Ahmad,

قِيلَ لَهُ : قَوْمٌ يَقُولُونَ ، عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَ يَأْخُذُ بِالْقِيمَةِ ، قَالَ يَدَعُونَ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَقُولُونَ قَالَ فُلَانٌ ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ : فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Ada yang berkata pada Imam Ahmad, “Suatu kaum mengatakan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz membolehkan menunaikan zakat fithri dengan uang seharga zakat.” Jawaban Imam Ahmad, “Mereka meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka mengatakan bahwa si fulan telah mengatakan demikian?! Padahal Ibnu ‘Umar sendiri telah menyatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri (dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum ...).[24]” Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya.”[25] Sungguh aneh, segolongan orang yang menolak ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam malah mengatakan, “Si fulan berkata demikian dan demikian”.”[26]

Syaikh ‘Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (pernah menjabat sebagai Ketua Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Komisi Fatwa Saudi Arabia), memberikan penjelasan:

“Telah kita ketahui bahwa ketika pensyari’atan dan dikeluarkannya zakat fithri ini sudah ada mata uang dinar dan dirham di tengah kaum muslimin –khususnya penduduk Madinah (tempat domisili Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen)-. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kedua mata uang ini dalam zakat fithri. Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita.”[27]

Penerima Zakat Fithri

Para ulama berselisih pendapat mengenai siapakah yang berhak diberikan zakat fithri. Mayoritas ulama berpendapat bahwa zakat fithri disalurkan pada 8 golongan sebagaimana disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60[28]. Sedangkan ulama Malikiyah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat fithri hanyalah khusus untuk fakir miskin saja.[29] Karena dalam hadits disebutkan,

وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

“Zakat fithri sebagai makanan untuk orang miskin.”

Alasan lainnya dikemukan oleh murid Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnu Qayyim Al Jauziyah. Beliau rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk bahwa zakat fithri hanya khusus diserahkan pada orang-orang miskin dan beliau sama sekali tidak membagikannya pada 8 golongan penerima zakat satu per satu. Beliau pun tidak memerintahkan untuk menyerahkannya pada 8 golongan tersebut. Juga tidak ada satu orang sahabat pun yang melakukan seperti ini, begitu pula orang-orang setelahnya.”[30] Pendapat terakhir ini yang lebih tepat, yaitu zakat fithri hanya khusus untuk orang miskin.

Waktu Pengeluaran Zakat Fithri

Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat fithri ada dua macam: (1) waktu afdhol yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied; (2) waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar.[31]

Yang menunjukkan waktu afdhol adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

“Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[32]

Sedangkan dalil yang menunjukkan waktu dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum adalah disebutkan dalam shahih Al Bukhari,

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ - رضى الله عنهما - يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا ، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

“Dan Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya 'Idul Fithri.”[33]

Ada juga sebagian ulama yang membolehkan zakat fithri ditunaikan tiga hari sebelum ‘Idul Fithri. Riwayat yang menunjukkan dibolehkan hal ini adalah dari Nafi’, ia berkata,

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ

“’Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul Fitri.”[34]

Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fithri boleh ditunaikan sejak awal Ramadhan. Ada pula yang berpendapat boleh ditunaikan satu atau dua tahun sebelumnya.[35] Namun pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini, dikarenakan zakat fithri berkaitan dengan waktu fithri (Idul Fithri), maka tidak semestinya diserahkan jauh hari sebelum hari fithri. Sebagaimana pula telah dijelaskan bahwa zakat fithri ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan orang miskin agar mereka bisa bersuka ria di hari fithri. Jika ingin ditunaikan lebih awal, maka sebaiknya ditunaikan dua atau tiga hari sebelum hari ‘ied.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Seandainya zakat fithri jauh-jauh hari sebelum ‘Idul Fithri telah diserahkan, maka tentu saja hal ini tidak mencapai maksud disyari’atkannya zakat fithri yaitu untuk memenuhi kebutuhan si miskin di hari ‘ied. Ingatlah bahwa sebab diwajibkannya zakat fithri adalah hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Sehingga zakat ini pun disebut zakat fithri. ... Karena maksud zakat fithri adalah untuk mencukupi si miskin di waktu yang khusus (yaitu hari fithri), maka tidak boleh didahulukan jauh hari sebelum waktunya.”[36]

Bagaimana Menunaikan Zakat Fithri Setelah Shalat ‘Ied?

Barangsiapa menunaikan zakat fithri setelah shalat ‘ied tanpa ada udzur, maka ia berdosa. Inilah yang menjadi pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Namun seluruh ulama pakar fikih sepakat bahwa zakat fithri tidaklah gugur setelah selesai waktunya, karena zakat ini masih harus dikeluarkan. Zakat tersebut masih menjadi utangan dan tidaklah gugur kecuali dengan menunaikannya. Zakat ini adalah hak sesama hamba yang mesti ditunaikan.[37]

Oleh karena itu, bagi siapa saja yang menyerahkan zakat fithri kepada suatu lembaga zakat, maka sudah seharusnya memperhatikan hal ini. Sudah seharusnya lembaga zakat tersebut diberi pemahaman bahwa zakat fithri harus dikeluarkan sebelum shalat ‘ied, bukan sesudahnya. Bahkan jika zakat fithri diserahkan langsung pada si miskin yang berhak menerimanya, maka itu pun dibolehkan. Hanya Allah yang memberi taufik.

Di Manakah Zakat Fithri Disalurkan?

Zakat fithri disalurkan di negeri tempat seseorang mendapatkan kewajiban zakat fithri yaitu di saat ia mendapati waktu fithri (tidak berpuasa lagi). Karena wajibnya zakat fithri ini berkaitan dengan sebab wajibnya yaitu bertemu dengan waktu fithri