Selasa, 01 November 2011

Mencari Orang yang Jujur itu Sulit

Mencari orang yang jujur di zaman ini amatlah sulit. Sampai pun ia rajin shalat, jidadnya terlihat rajin sujud (karena saking hitamnya), belum tentu bisa memegang amanat dengan baik. Ada cerita yang kami saksikan di desa kami.

Seorang takmir masjid yang kalau secara lahiriyah nampak alim, juga rajin menghidupkan masjid. Namun belangnya suatu saat ketahuan. Ketika warga miskin mendapat jatah zakat dan disalurkan lewat dirinya, memang betul amplop zakat sampai ke tangan si miskin. Tetapi di balik itu setelah penyerahan, ia berkata pada warga, "Amplopnya silakan buka di rumah (isinya 100.000 per amplop). Namun kembalikan untuk saya 20.000." Artinya, setiap amplop yang diserahkan asalnya 100.000, namun dipotong sehingga tiap orang hanya mendapatkan zakat 80.000. Padahal dari segi penampilan tidak ada yang menyangka dia adalah orang yang suka korupsi seperti itu. Tetapi syukurlah, Allah menampakkan belangnya sehingga kita jadi tahu tidak selamanya orang yang mengurus masjid itu termasuk orang-orang yang jujur.

Perintah untuk Berlaku Jujur

Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At Taubah: 119).

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,

فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ

Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)

Dalam hadits dari sahabat 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta. Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)

Begitu pula dalam hadits dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ

Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200, hasan shahih). Jujur adalah suatu kebaikan sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan. Yang namanya kebaikan pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu membawa kegelisahan dalam jiwa.

Basyr Al Haafi berkata,

من عامل الله بالصدق، استوحش من الناس

"Barangsiapa yang berinteraksi dengan Allah dengan penuh kejujuran, maka manusia akan menjauhinya." (Mukhtashor Minhajil Qoshidin, 351). Karena memang jujur itu begitu asing saat ini, sehingga orang yang jujur dianggap aneh.

Perintah untuk Menjaga Amanat

Allah Ta'ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya" (QS. An Nisa': 58)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ

"Tunaikanlah amanat kepada orang yang menitipkan amanat padamu." (HR. Abu Daud no. 3535 dan At Tirmidzi no. 1624, hasan shahih)

Khianat ketika diberi amanat adalah di antara tanda munafik. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

"Ada tiga tanda munafik: jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika diberi amanat, ia khianat." (HR. Bukhari no. 33)

Jadi, jika dititipi amanat, jagalah amanat tersebut itu dengan baik. Jangan sampai dikorupsi, jangan sampai dikurangi dan masuk kantong sendiri. Ingatlah ancaman dalam dalil di atas sebagaimana dikata munafik.

Kunci Utama

Kunci utama agar kita menjaga amanat ketika dititipi uang misalnya, sehingga tidak dikorupsi atau dikurangi adalah dengan memahami takdir ilahi. Ingatlah bahwa setiap orang telah ditetapkan rizkinya. Allah tetapkan rizki tersebut dengan adil, ada yang kaya dan ada yang miskin. Allah tetapkan ada yang berkelebihan harta dari lainnya, itu semua dengan kehendak Allah karena Dia tahu manakah yang terbaik untuk hamba-Nya. Sehingga kita hendaklah mensyukuri apa yang Allah beri walaupun itu sedikit.

اللهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ القَوِيُّ العَزِيزُ

Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki kepada yang di kehendaki-Nya dan Dialah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Asy Syura: 19)

Allah Ta'ala berfirman,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27) Ibnu Katsir rahimahullah lantas menjelaskan,“Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh , tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/278)

Jika setiap orang memahami hal di atas, maka sungguh ia tidak akan korupsi, tidak akan menipu dan lari dari amanat. Realita yang kami saksikan sendiri menunjukkan bahwa mencari orang yang jujur itu amat sulit di zaman ini. Kita butuh menyeleksi dengan baik jika memberi amanat pada orang lain. Hanya dengan modal iman dan takwa-lah serta merasa takut pada Allah, kita bisa memiliki sifat jujur dan amanat.

Moga Allah Memberi Akhlak Mulia
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ
Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’ [Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar].” (HR. Tirmidzi no. 3591, shahih)
Wallahu waliyyut taufiq.

Selasa, 02 Agustus 2011

Menghidupkan Hati

أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَالَهُ نُورًايَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا 
“Dan apakah orang yang sudah mati (hatinya) kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?” (QS. Al An’aam : 122 )

Terang dan gelapnya hidup manusia, serta lapang dan sempitnya jiwa dalam melaluinya, sangat bergantung dengan hati, karena hati adalah pusat kehendak, jika hati melambung tinggi ke langit karena merasakan kenikmatan beribadah, anggota tubuh mengikutinya. Jika hati terkotori sehingga ia tersungkur kedalam lumpur kehinaan, maka tak ada lagi kebahagiaan yang dirasakan oleh jiwa.  Hati yang terikat kuat dengan Dzat yang Maha Kokoh, tidak akan pernah membuat jiwa jatuh ke dalam kehinaan.

"Jika hati hanya berpedoman kepada badan, maka ia hanya akan ketakutan oleh batas usia, oleh mati, oleh  kemelaratan, oleh ketidakpunyaan. Jika pikiran hanya mengurusi badan, jika pikiran tak kenal ujung maka ia akan rakus kepada alam, akan membusung dengan keangkuhan, kemudian kaget dan kecewa oleh segala yang dihasilkan." 
Begitulah ungkapan Emha Ainun Najib dalam salah satu puisinya dalam buku "Dari Pojok Sejarah".

Allah menginginkan agar kita sebagai umat-Nya mempunyai hati yang selalu terhubung kuat kepada-Nya. Dengan hati yang melekat kepada-Nya maka jiwa akan selalu pasrah dan redho dengan segala kehendak dan skenario-Nya, kemudian jiwa dapat mengikuti dan bertindak sesuai dengan kehendak-Nya. Namun tidak dapat dipungkiri dalam hidup kita, keterikatan hati kepada Allah, sering kali lemah, karena ikatan lain yang lebih kuat mencengkramnya. Diantara ikatan yang mengikat hati itu adalah:


Pertama, hati terikat kepada harta.
Kuatnya tarikan harta yang mengikat hati kadangkala mendominasi seluruh energi kita, sehingga gerakan dari setiap langkah dan pikiran kita dari bangun tidur sampai tidur lagi tidak lain kepada harta. Sehingga bagi sebagian orang, orientasi hidupnya adalah harta, sedangkan keterikatan hatinya pada Allah, hanya sekedar bakti untuk melepaskan kewajiban semata, atau bahkan yang lebih parah lagi, kewajiban itu dilupakan sama sekali, karena ikatan hatinya kepada Allah sudah tidak ada lagi. Maka jika harta seseorang diambil kembali oleh Allah maka ada dua hal yang mungkin terjadi, pertama:  ia akan stres atau frustrasi, bahkan jika berlarut, tidak mustahil akan sampai pada tindakan bunuh diri. Kedua:  ia akan menempuh jalan yang keliru untuk menghasilkan harta seperti korupsi, mencuri, merampok, menipu dan lain sebagainya.

Orang semacam ini tidak akan pernah puas dalam hidupnya. Jika hartanya sedikit, ia ingin yang banyak. Jika sudah banyak, ingin yang lebih banyak lagi, demikian seterusnya.  Bahkan seperti kata Rasulullah, "Jika ia memiliki satu gunung emas seperti gunung Uhud, ia ingin memiliki satu gunung emas lagi."


Kedua, hati yang terikat kepada keluarga yang dikasihi.
Mencintai dan mengasihi orang tua, anak, istri, suami atau siapa saja, bukanlah suatu yang dilarang, namun yang tidak diperbolehkan adalah mencintai mereka melebihi cinta kepada Allah dan berjuang di jalan-Nya. 

Seperti yang disinggun oleh Allah dalam firmannya: "Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At-Taubah: 24)

Orang-orang yang hatinya terikat begitu kuat dengan yang mereka sayangi, kadangkala tidak dapat menolak saat dihadapkan kepada pilihan, apakah ia lebih memilih untuk menyenangkan hati mereka daripada menyenangkan Allah dengan menjalankan perintah-Nya. Nabi Ibrahim telah memberikan teladan yang baik kepada kita, walaupun Ia begitu mengasihi anaknya Ismail, namun hatinya tetap terikat kuat kepada Allah. Sehingga ia penuhi perintah Allah tanpa ragu saat diminta menyembelinya. Begitu pula saat ia tinggalkan istrinya Siti Hajar, di tanah tandus Makkah, tanpa makanan dan minuman guna untuk melaksanakan perintah Allah.  Namun di sanalah hikmah yang agung, Allah memberikan karunia yang luar biasa kepada Istri Hajar dan anaknya Ismail  dengan buah-buahan dan air Zam-zam yang mengalir tiada henti sampai saat ini.


Ketiga, hati yang terikat pada kebiasaan tertentu
Selain kepada harta dan orang-orang yang disayangi, hati juga dapat terikat kepada kebiasaan-kebiasaan tertentu. Kita begitu mencintai kebiasaan-kebiasaan itu sehingga tanpa kita sadari kebiasaan itu menjauhkan hati kita dari Allah. Kebiasaan semacam ini terbagi ke dalam dua kategori:
  1. Kebiasaan yang mengarah kepada dosa dan maksiat. Hati yang sudah melekat dengan dosa, akan sangat susah meninggalkannya, apalagi jika hati sudah menghitam, maka akan sangat sulit dibersihkan. 
  2. Kebiasaan umum, yaitu kebiasaan yang berhubungan dengan hobi atau kegemaran, seperti menonton TV, sepak bola, dan hal lain yang sejenis. Jika hati telah terikat kuat dengannya maka kebiasaan ini dapat membawa kita kepada dosa, bahkan perintah Allah dinomor sekiankan.
Shohibul Zhilal mengatakan: "Sesunguhnya jiwa yang tunduk kepada hawa nafsu, meremehkan dan mempermainkan perkara-perkara suci adalah jiwa yang sakit. Sikap yang tunduk kepada hawa nafsu tidak akan mampu menanggung beban tanggung jawab. Jiwa yang bertanggung jawab adalah jiwa yang kuat, sungguh-sungguh dan penuh kesadaran. Sedangkan, jiwa yang tunduk kepada hawa nafsu, tidak memiliki kesadaran dan meremehkan segala hal. Setiap jiwa yang kosong dari kesungguhan, semangat dan kesucian, maka ia akan berubah kepada gambaran yang sakit dan tercelah seperti yang dilukiskan Al-Quran. Jiwa yang sakit telah mengubah haluan kehidupan kepada senda gurau dan kekosongan yang tidak memiliki tujuan dan juga penopang."

Sedangkan bagi orang beriman yang hatinya selalu terhubung dengan Allah, di saat hatinya bersentuhan dengan Al-Quran maka hati mereka serta merasakan ketenangan, lalu tumbuhlah perhatian yang membuat hati mereka tidak terlalu peduli dari dunia dan segala kenikmatannya.

Dalam keterangan Al Amidi terdapat biografi singkat dari Amir bin Rabiah, bahwa seorang arab mampir ke rumahnya, dan dia memuliakannya, kemudian orang arab itu datang lagi kepadanya setelah dia mendapat jatah tanah dan berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku telah mendapatkan jatah suatu lembah tanah arab dari Rosulullah dan aku ingin membagikan kepadamu suatu bagian darinya untukmu dan keluargamu sesudah sepeninggalmu."  Amir menjawab, "aku tidak membutuhkan bagian dari tanahmu, karena hari ini turun surah dari Al-Quran yang membuat kami kami melupakan segala urusan dunia, yaitu firman Allah: "Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling.Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai."(QS. Al-Anbiyaa: 1-3) 

Inilah perbedaan antara hati yang hidup, responsif dan terpengaruh dengan peringatan  Allah dengan hati yang mati, lalai, dan keras. Hati mati yang mengkafani mayatnya dengan main-main, memakaikan pakaian kekerasan dengan hawa nafsu, dan tidak terpengaruh sedikitpun dengan peringatan karena ia tidak memiliki tiang-tiang kehidupan.
Hati yang hidup adalah hati yang ketika ditawarkan berbagai macam perbuatan keji, maka dengan kesadarannya dia akan menjauh darinya dan membenci perbuatan-perbuatan tersebut, bahkan tidak condong sedikitpun kepadanya.
Berbeda  halnya dengan kondisi hati yang mati. Sesungguhnya hati yang mati tidak akan bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. 

Sebagaimana ungkapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :
هلك من لم يكن له قلب يعرف به المعروف والمنكر
“Celakalah bagi mereka yang tidak memiliki hati, yaitu hati yang bisa mengenal manakah kebaikan dan manakah keburukan”.

Hati yang sakit adalah hati yang terserang penyakit syahwat. Sesungguhnya hati yang demikian akan condong kepada keburukan yang ditawarkan kepada dirinya, dikarenakan lemahnya hati tersebut. Kecondongannya terhadap kebatilan akan berbanding lurus dengan parah dan tidaknya penyakit yang bersarang di dalam hatinya.

Terkadang penyakit hati yang bersarang di dalam hati seseorang semakin bertambah parah, dan sang pemilik hati tidak menyadarinya, dikarenakan dirinya berpaling dari mengenal hati yang sehat dan sebab-sebab yang bisa menghantarkan kepada sehatnya hati. Namun ada yang lebih parah dari keadaan ini, yaitu orang yang hatinya mati, namun dirinya tidak merasakan kematian hatinya. . (Lihat pnjelasan Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi dalam Syarah Aqidah Ath Thahawiyah, Darul ‘Aqidah, halaman 253-254)

Sungguh hal yang demikian, yaitu mati dan kerasnya hati ini merupakan bahaya yang sangat besar, sebagaimana dikatakan oleh Malik ibnu Dinar rahimahullahu:Sesungguhnya Allah memiliki berbagai macam hukuman yang menimpa hati dan badan, yaitu sempitnya penghidupan dan lemah dalam beribadah, dan tidaklah ada sesuatu yang lebih bahaya menimpa seorang hamba melainkan kerasnya hati.” (Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim Al Ashbahany, Maktabah Syamilah)

Sebuah perumpamaan yang sederhana, kita mungkin pernah melihat ikan yang dikeluarkan dari air, kita dapati ikan tersebut menggelapar-gelepar di atas tanah, bila keadaan itu  berlangsung dalam waktu yang lama, bisa dipastikan ikan itu akan mati.

Sesungguhnya Allah swt  menciptakan hati dan menjadikan sumber kehidupan dan ketenangannya adalah dengan mengenal Allah, mencintai-Nya dan selalu ingat pada-Nya, berenang mengarungi samudra-Nya berupa Al-Quran.  Dengan melakukan hal itu,  hati akan hidup  dan selalu bisa  merasakan nikmat-nikmat Allah. Dengan hidupnya hati, ia akan memberi cahaya pada jalan-jalan kehidupan  yang dilalui.

Namun bila hati diletakkan pada dunia, cinta padanya dan dunia mendapat tempat di dalam hati, maka dipastikan hati tersebut tidak akan pernah bisa tenang dan tentram dalam arti yang sesungguhnya. Walaupun secara zahir nampak  ketenangan dan kebahagiaan, tapi ia hanya bersifat sementara bahkan kesenangan yang menipu.

Allah swt berfirman : Ketahuilah, bahwa dengan berzikir kepada Allah, hati  menjadi tenang (Qs. Ar-Ra`du : 28)

Ketika hati lalai dari mengingat Allah, ia akan selalu resah, gelisah, dan tidak pernah merasa tentram, iapun akan menggelepar-gelepar, kemudian hati akan sakit dan pada akhirnya akan mati seperti matinya ikan di daratan.
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati."(QS. Qaaf: 37 )

Salah satu ciri hati yang hidup adalah lapang hatinya dalam menerima ajaran Islam. Allah berfirman: "Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk menerima agama Islam niscaya dia berada di atas cahaya Tuhannya" (QS. Az-Zumar: 22).

Suatu ketika Rasulullah ditanya tentang bagaimana hati bisa lapang? Beliau menjawab: "Apabilah cahaya itu masuk ke dalam hati maka hati tersebut akan lapang dan terbuka". Kemudian beliau ditanya lagi, apa tanda-tandanya wahai Rasulullah? Beliau menjawab: "Mempersiapkan diri menuju tempat keabadian (akhirat), dan 'mengasingkan' diri dari tempat yang menipu (dunia), serta mempersiapkan diri sebelum datangnya kematian." (HR. Hakim, dan Baihaqi dalam Kitab Az-zuhd).

Maka memperbaiki hati dan menghidupkannya dengan terus mempelajari Islam adalah suatu kewajiban bagi setiap hamba beriman, karena dengan baiknya hati maka akan baiklah seluruh kehidupan kita. Rasulullah saw bersabda: "Di dalam jasad itu ada segumpal darah, bila rusak, maka rusaklah seluruh tubuh dan bila sehat maka sehatlah seluruh tubuh, segumpal darah itu adalah hati."      

Minggu, 17 Juli 2011

Jauhi Bid'ah Nisfu Sya'ban

Assalamualikum WBT. Bulan sya’ban dah nak sampai pertengahannya.
Apa ada dengan pertengahan sya’ban? Apa ada dengan nisfu sya’ban?
“Allah melihat kepada hamba-hambaNya pada malam nisfu Syaaban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci membenci) (Riwayat Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain). Al-Albani mensahihkan hadith ini dalam Silsilah al-Ahadith al-Sahihah. (jilid 3, .m.s. 135, cetakan: Maktabah al-Ma`arf, Riyadh)
Akan tetapi hadith di atas tidak mengajar apa-apa amalan khusus di malam atau siang Nisfu Sya’ban! Dari mana asalnya? Siapa pula nabi yang mendapat wahyu yang mengajar kita tentang ibadah-ibadah yang tak di ajar oleh Nabi Muhammad SAW penutup segala rasul ini.
Ulas Dr. Yusuf al-Qaradawi:
“Tidak pernah diriwayatkan daripada Nabi s.a.w. dan para sahabat bahawa mereka berhimpun di masjid pada untuk menghidupkan malam nisfu Syaaban, membaca do`a tertentu dan solat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam. Bahkan di sebahagian negeri, orang ramai berhimpun pada malam tersebut selepas maghrib di masjid. Mereka membaca surah Yasin dan solat dua raka`at dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in). Ianya satu do`a yang panjang, yang menyanggahi nusus (al-Quran dan Sunnah) juga bercanggahan dan bertentang maknanya…perhimpunan (malam nisfu Syaaban) seperti yang kita lihat dan dengar yang berlaku di sebahagian negeri orang Islam adalah bid`ah dan diada-adakan. Sepatutnya kita melakukan ibadat sekadar yang dinyatakan dalam nas. Segala kebaikan itu ialah mengikut salaf, segala keburukan itu ialah bid`ah golongan selepas mereka, dan setiap yang diadakan-adakan itu bid`ah, dan setiap yang bid`ah itu sesat dan setiap yang sesat itu dalam neraka.”
(Dr. Yusuf al-Qaradawi, jilid 1, m.s. 382-383, cetakan: Dar Uli al-Nuha, Beirut).
Sudahlah mennyebarkan bid’ah, kita lalai, lupa sehingga menjadi tali barut penipu dan pendusta dengan menipu masyarakat menggunakan nama Rasul. Ibadah yang tak pernah di ajar Nabi SAW dikatakan di ajar oleh Rasulullah SAW.
“Sesungguhnya berdusta ke atasku (menggunakan namaku) bukanlah seperti berdusta ke atas orang lain (menggunakan nama orang lain). Sesiapa yang berdusta ke atasku dengan sengaja, maka siaplah tempat duduknya dalam neraka” (Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan selain mereka)
Ustaz Asri Zainul Abidin menyebutkan:
Berbohong menggunakan nama Nabi s.a.w. adalah satu jenayah yang dianggap sangat barat di dalam Islam. Perbohongan atau berdusta menggunakan Nabi s.a.w. ialah menyandar sesuatu perkataan, atau perbuatan, atau pengakuan kepada Nabi s.a.w secara dusta, yang mana baginda tidak ada kaitan dengannya. Ini seperti menyebut Nabi s.a.w. bersabda sesuatu yang baginda tidak pernah bersabda, atau berbuat, atau mengakui sesuatu yang baginda tidak pernah melakukannya. Maka sesuatu yang dikaitkan dengan Nabi s.a.w. samada perkataan, atau perbuatan atau pengakuan, maka ianya disebut sebagai al-hadith. Namun menyandar sesuatu kepada Nabi s.a.w. secara dusta, bukanlah hadith pada hakikatnya, Cuma ianya disebut hadith berdasar apa yang didakwa oleh perekanya dan ditambah perkataan al-Maudu’, atau al-Mukhtalaq iaitu palsu, atau rekaan. Maka hadith palsu ialah:
“Hadith yang disandarkan kepada Nabi s.a.w secara dusta, ianya tidak ada hubungan dengan Nabi s.a.w.” (lihat: Nur al-Din Itr, Manhaj al-Nadq fi `Ulum al-Hadith, m.s.301, cetakan: Dar al-Fikr al-Mu`asarah, Beirut)
Apakah modal-modal atau hadiith-hadith palsu yang dijadikan hujah untuk menipu masyarakat ini dan secara tak langsung mengkhianati agama wahyu yang telah sempurna ini?
a) Hadis tentang kelebihan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban
Tidak terdapat hadis sahih yang menyebut bahawa Nabi saw menghidupkan malam Nisfu Sya’ban ini dengan amalan-amalan yang khusus seperti sembahyang sunat yang khas atau doa-doa tertentu. Malah semua hadis tersebut adalah lemah dan palsu. Di antaranya ialah:
Hadis yang diriwayatkan daripada Ali ra: ((Apabila tiba malam Nisfu Sya’ban, maka bangunlah kamu (menghidupkannya dengan ibadah) pada waktu malam dan berpuasalah kamu pada siangnya, kerana sesungguhnya Allah swt akan turun ke langit dunia pada hari ini bermula dari terbenamnya matahari dan berfirman: “Adakah sesiapa yang memohon ampun daripada-Ku akan Ku ampunkannya. Adakah sesiapa yang memohon rezeki daripada-Ku, akan Ku kurniakan rezeki kepadanya. Adakah sesiapa yang sakit yang meminta penyembuhan, akan Ku sembuhkannya. Adakah sesiapa yang yang meminta daripada-Ku akan Ku berikan kepadanya, dan adakah begini, adakah begitu dan berlakulah hal ini sehingga terbitnya fajar))..
Hadis ini adalah maudhu’, diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Baihaqi di dalam Syu’ab al-Iman. Rujuk Dhaifah al-Jami’ dan Silsilah al-Dhaifah oleh al-Albani, Dhaif Ibn Majah.
Diriwayatkan daripada Ibn Umar ra bahawa Rasulullah saw bersabda: ((Barang siapa membaca seribu kali surah al-Ikhlas dalam seratus rakaat solat pada malam Nisfu Sya’ban ia tidak keluar dari dunia (mati) sehinggalah Allah mengutuskan dalam tidurnya seratus malaikat; tiga puluh daripada mereka mengkhabarkan syurga baginya, tiga puluh lagi menyelamatkannya dari neraka, tiga puluh yang lain mengawalnya daripada melakukan kesalahan dan sepuluh lagi akan mencegah orang yang memusuhinya)).
Hadis ini menurut Ibn al-Jauzi adalah Maudhu’. (Rujuk Ibn al-Jauzi, al-Maudhu’at, Dar al-Fikr, cet. 1983, 2/128). Imam al-Daruqutni pula meriwayatkan hadis ini daripada Muhamad bin Abdun bin Amir al-Samarqandi dan dia mengatakan bahawa Muhamad adalah seorang pendusta dan pembuat hadis. Pendapat ini juga sama seperti yang disebut oleh Imam al-Zahabi bahawa Muhamad bin Abdun terkenal sebagai pembuat hadis.
Diriwayatkan daripada Ja’far bin Muhammad daripada ayahnya berkata: ((Sesiapa yang membaca pada malam Nisfu Sya’ban seribu kali surah al-ikhlas dalam sepuluh rakaat, maka ia tidak akan mati sehingga Allah mengutuskan kepadanya seratus malaikat, tiga puluh menyampaikan khabar gembira syurga kepadanya, tiga puluh menyelamatkannya dari neraka, tiga puluh akan mengawalnya dari berbuat salah dan sepuluh akan menulis mengenai musuh-musuhnya)).
Ibn al-Jauzi turut menghukum hadis ini dengan maudhu’.
Kebanyakan hadis-hadis yang menyebut tentang amalan-amalan yang khusus seperti solat, doa dan sebagainya adalah tidak sahih. Justeru, tidak ada amalan–amalan atau ibadah khusus yang disunatkan untuk dilakukan pada malam Nisfu Sya’ban seperti solat tertentu yang dinamakan solat al-Alfiyah atau membaca sesuatu surah (seperti surah Yaasin) supaya dipanjangkan umur, dimurahkan rezeki, ditetapkan iman atau sebagainya. Jika amalan ini thabit, pasti Rasulullah saw akan mengajarkannya kepada para sahabat dan generasi selepas itu akan menyampaikannya kepada kita.
Al-Hafiz al-Iraqi berkata: ((Hadis tentang solat pada malam Nisfu Sya’ban adalah maudhu’, direka cipta dan disandarkan kepada Rasulullah saw. Hal ini juga disebut oleh al-Imam al-Nawawi di dalam kitabnya al-Majmu’: “Solat yang dikenali sebagai solat al-Raghaib iaitu solat sebanyak dua belas rakaat antara Maghrib dan I’syak pada malam Jumaat pertama bulan rejab dan solat sunat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak seratus rakaat adalah dua jenis sembahyang yang bid‘ah (ditokok tambah dalam agama)). (Rujuk: Abd al-Aziz bin Abdullah bin Baaz, al-Tahzir min al-Bida’, cetakan ke-3, Uni.Islam Madinah, hal. 14).
Syiekh Abd al-Aziz bin Abdullah bin Baaz berkata: ((Dan di antara perkara-perkara ibadah yang direka cipta oleh manusia ialah merayakan malam Nisfu Sya’ban dan berpuasa sunat khusus pada siangnya, dan tidaklah ada sebarang dalil yang mengharuskan perkara ini. Riwayat yang menyatakan tentang kelebihan amalan ini adalah dhaif dan tidak boleh berhujah dengannya. Ada pun riwayat yang menyebut tentang kelebihan solat yang khas, semuanya adalah maudhu’ seperti mana yang telah dijelaskan oleh kebanyakan ahli ilmu)).
(Abd al-Aziz bin Abdullah bin Baaz, al-Tahzir min al-Bida’, hal. 11).
Ulamak kontemporari masa kini, Syiekh Dr. Yusof al-Qaradhawi juga menyatakan di dalam fatwanya:
((Tentang malam Nisfu Sya’ban, tidak terdapat hadis-hadis yang sampai ke martabat sahih yang menyebut tentangnya, kecuali ia berada di martabat hasan di sisi sebahagian ulama, dan terdapat juga sebahagian ulama yang menolaknya dan mengatakan bahawa tidak terdapat sebarang hadis sahih tentang malam Nisfu Sya’ban, sekiranya kita berpegang bahawa hadis tersebut berada di martabat hasan, maka apa yang disebut di dalam hadis tersebut ialah Nabi saw hanya berdoa dan beristighfar pada malam ini, tidak disebut sebarang doa yang khusus sempena malam ini, dan doa yang dibaca oleh sebahagian manusia di sesetengah negara, dicetak dan diedarkannya adalah doa yang tidak ada asal sumbernya (daripada hadis sahih) dan ia adalah salah)).
Beliau menambah lagi:
((Terdapat juga di sesetengah negara yang mereka berkumpul selepas solat Maghrib di masjid-masjid dan membaca surah Yaasin, kemudian solat dua rakaat dengan niat supaya dipanjangkan umur, dan dua rakaat lagi supaya tidak bergantung dengan manusia, kemudian membaca doa yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari kalangan salaf, dan ia adalah doa yang bercanggah dengan nas-nas yang sahih, juga bersalahan dari segi maknanya)). (Al-Qaradhawi, Fatawa al-Muasarah (Kuwait: Dar al-Qalam, cet.5, 1990), 2/379-383)
Para ulama muktabar lain seperti Syiekh al-Islam Ibn Taimiyah, Imam al-Suyuti, Abu Bakr al-Turtusyi, al-Maqdisi, Ibn Rejab dan lain-lain lagi juga menafikan akan wujudnya amalan ibadah yang khas pada malam Nisfu Syaaban ini. Namun, ini bukanlah bererti malam ini tidak mempunyai kelebihannya, bahkan terdapat hadis-hadis yang thabit yang menyebut akan fadhilat dan kelebihannya, tetapi tidak dinyatakan tentang amalan ibadah khas yang perlu dilakukan. Maka sebarang ibadah yang dilakukan pada malam tersebut tidak boleh disandarkan dengan mana-mana hadis atau pun menganggapnya mempunyai kelebihan yang khas dan tidak juga dilakukan secara berjemaah. Hal ini telah disebut al-Imam al- Suyuti:
((Dan pada malam Nisfu Sya’ban itu padanya kelebihan, dan menghidupkannya dengan ibadah adalah digalakkan, tetapi hendaklah dilakukan secara bersendirian bukan dalam bentuk berjemaah)). (Rujuk: al-Suyuti, al-amru bi al-ittiba’ wa al-nahyu an al-ibtida’ (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 1998), hal 61)
b) Hadis tentang kelebihan puasa yang khas pada hari Nisfu Sya’ban.
Berhubung dengan amalan puasa yang khas pada Nisfu Sya’ban, tidak terdapat hadis sahih yang menjelaskan perkara ini, malah ia adalah hadis yang lemah. Tetapijika seseorang itu berpuasa berdasarkan amalan Nabi saw yang memperbanyakkan puasanya pada bulan ini dan termasuk di dalamnya hari Nisfu Sya’ban, maka ini adalah suatu amalan yang baik dan digalakkan. Begitu juga jika seseorang itu mengamalkan puasa sunat Hari Putih dan termasuk di dalamnya hari yang ke -15 pada bulan ini atau puasa sunat yang dilakukan pada hari Isnin dan Khamis. Jika puasa ini dilakukan pada Nisfu Sya’ban sahaja dengan menganggap ia adalah sunnah, maka inilah yang dilarang. Menurut Dr Yusof al-Qaradhawi:
((Di dalam kaedah syara’, tidak dibolehkan untuk menentukan sesuatu hari khusus untuk berpuasa atau sesuatu malam yang tertentu untuk dihidupkan dengan ibadah tanpa bersandarkan kepada nas syara’ kerana sesungguhnya urusan ibadah ini bukanlah urusan yang sesiapa pun berhak menentukannya, tetapi ia adalah hak Allah semata-mata)).
(Rujuk Al-Qaradhawi, Fatawa al-Muasarah, 2/343)
Untuk apa kita sibuk-sibuk beramal dengan yang tidak sunnah sedangkan berapa banyak sunnah yang kita abaikan. Bahkan berapa ramai daripada kita meremehkan sunnah-sunnah ada, walaupun sudah mengetahui tentang nya. Lihatlah apa jadi dengan sunnah solat menghadap ke sutrah. Bid’ah nisfu sya’ban lebih popular dengan sunnah yang makin dilupakan ini, bahkan dipandang pelik orang yang sibuk-sibuk mencari dinding atau objek untuk dijadikan sutrah. Berapa ramai daripada kita yang mengamalkan bersiwak waktu nak solat, waktu nak baca al-Quran? Berapa ramai daripada kita bila mendengar azan akan berselawat? Berapa ramai daripada kita yang mengamalkan doa-doa dan zikir-zikir yang Nabi SAW ajar? Lihatlah, bid’ah semakin membiak dan sunnah semakin pupus.
Wassalam.
Baca lagi:

Selasa, 05 April 2011

Hasad, penyakit hati yang menjangkiti insan

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah kembali memberikan pelajaran berharga mengenai penyakit hasad. Iri, dengki atau hasad –istilah yang hampir sama- berartimenginginkan hilangnya nikmat dari orang lain. Asal sekedar benci orang lain mendapatkan nikmat itu sudah dinamakan hasad, itulah iri. Hasad seperti inilah yang tercela. Adapun ingin agar semisal dengan orang lain, namun tidak menginginkan nikmat pada orang lain itu hilang, maka ini tidak mengapa. Hasad model kedua ini disebut ghibthoh. Yang tercela adalah hasad model pertama tadi.

Beliau, Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan keterangan yang amat bagus. Penyakit hasad atau iri adalah penyakit yang akan menjangkiti setiap orang. Maka tentu saja setiap orang mesti waspada.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

Sesungguhnya hasad adalah di antara penyakit hati. Inilah penyakit keumuman manusia. Tidak ada yang bisa lepas darinya kecuali sedikit sekali. Oleh karena itu ada yang mengatakan,

مَا خَلَا جَسَدٌ مِنْ حَسَدٍ لَكِنَّ اللَّئِيمَ يُبْدِيهِ وَالْكَرِيمَ يُخْفِيهِ

“Setiap jasad tidaklah bisa lepas dari yang namanya hasad (iri). Namun orang yang berpenyakit (hati) akan menampakkannya. Sedangkan orang yang mulia (hatinya) akan menyembunyikannya.”

Ada yang bertanya pada Al Hasan Al Bashri, “Apakah orang beriman itu bisa hasad (iri)?” “Tidakkah engkau perhatikan bagaimana kisah Nabi Yusuf dan saudara-saudaranya?”, jawab beliau. Jadi selama hasad itu tidak ditampakkan pada tangan dan lisan, maka itu tidak membahayakanmu.

Barangsiapa yang mendapati pada dirinya penyakit ini (yaitu hasad), maka hiasilah dirinya dengan takwa dan sabar, serta hendaklah ia membenci sifat hasad tersebut pada dirinya.

Sumber: Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, 10/124-125.

Tetangga yang Baik dan Tetangga yang Jelek

Beruntunglah jika kita mendapat tetangga yang baik. Apa saja ciri-ciri tetangga yang baik dan yang jelek? Semoga kita tidak termasuk tetangga yang berperangai jelek dan semoga senantiasa Allah mudahkan untuk menjadi tetangga yang baik.

Imam Al Bukhari membawakan beberapa hadits tentang manakah tetangga yang baik dan tetangga yang jelek dalam hadits-hadits berikut ini.

51- Bab Orang yang Menutup Pintu dari Tetangganya -60.

[81/111]

Dari lbnu Umar, ia berkata,

لَقَدْ أَتَى عَلَيْنَا زَمَانٌ – أَوْ قَالَ : حِيْنٌ- وَمَا أَحَدٌ أَحَقُّ بِدِيْنَارِهِ وَدِرْهَمِهِ مِنْ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ، ثُمَّ الآنَ الدِّيْنَارُ وَالدِّرْهَمُ أَحَبُّ إِلىَ أَحَدِنَا مِنْ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ

“Telah datang kepada kami (para sahabat) suatu zaman di mana seorang itu (merasa) saudaranya sesama muslim lebih berhak untuk memiliki dirham dan dinar yang ia miliki. Namun sekarang, dinar dan dirham lebih dicintai oleh salah seorang di antara kita daripada saudaranya sesama muslim.

Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَمْ مِنْ جَارٍ مُتَعَلِّقٍ بِجَارِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُوْلُ، يَا رَبِّ! هَذَا أَغْلَقَ بَابَهُ دُوْنِي، فَمَنَعَ مَعْرُوْفَهُ!

“Berapa banyak tetangga yang akan memegang tangan tetangganya di hari kiamat sambil berkata, ”Wahai Rabb-ku orang ini menutup pintunya dariku dan dia enggan memberi apa yang ia miliki.” (Hasan Lighairihi, yakni hasan dilihat dari jalur yang lain) Lihat Ash Shahihah (2616): [Hadits ini tidak ada sedikitpun dalam Kutubus Sittah]

52- Bab [Seorang Tidak Patut Merasa Kenyang Sedang tetangganya Kelaparan -61

[82/112]

Dari Abdullah ibnul Mishwar, ia berkata, “Saya pernah mendengar lbnu Abbas meriwayatkan dari lbnu Zubair di mana dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ، وَجَارُهُ جَائِعٌ

Seorang yang beriman tidak akan kekenyangan sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (Shahih) Lihat Ash Shahihah (149)

53- Bab Memperbanyak Kuah Untuk Dibagi di antara Para Tetangga -62

[83/113]

Dari Abu Dzar, ia berkata, “Kekasihku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepadaku tiga perkara, yaitu,

اسْمَعْ وَأَطِعْ وَلَوْ عَبْدًا مُجَدَّعَ الْأَطْرَافِ وَإِذَا صَنَعْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَتِكَ فَأَصِبْهُمْ مِنْهَا بِمَعْرُوفٍ وَصَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا فَإِنْ وَجَدْتَ الْإِمَامَ قَدْ صَلَّى فَقَدْ أَحْرَزْتَ صَلَاتَكَ وَإِلَّا فَهِيَ نَافِلَةٌ

”Dengarkanlah dan taatilah meskipun terhadap budak (jika dia menjadi pemimpin misalnya). Jika engkau memasak perbanyaklah kuahnya kemudian lihatlah tetanggamu yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu. Lalu berikanlah kuah itu kepada mereka dengan cara yang baik. Dirikanlah shalat pada waktunya. Jika engkau menjumpai imam telah melaksanakan shalat maka engkau telah menjaga shalatmu. Jika belum, maka [shalat yang engkau kerjakan bersama imam] itu terhitung sebagai nafilah (shalat sunnah).

Dalam suatu riwayat hadits ini tercantum dengan lafazh,

ياَ أَباَ ذَرٍّ إِذَا طَبِخْتَ مِرْقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَ الْمِرْقَةِ، وَتُعَاهِدُ جِيْرَانَكَ، أَوِ اقْسِمْ فِي جِيْرَانِكَ

“Wahai Abu Dzar, apabila engkau membuat suatu masakan, maka perbanyaklah kuahnya. Kemudian undanglah tetanggamu atau engkau dapat membaginya kepada mereka.” [Hadits nomor 114 pada kitab asli]. (Shahih) Lihat Zhilalul Jannah (1052), As Silsilah Ash Shahihah (1368): [Muslim: 45-Kitab Al Birr wash Shilah wal Adab, hal. 142-143. Muslim: 5-Kitab Al Masaajid, hal. 239]

54- Bab Tetangga Terbaik -63

[84/115]

Dari Abdullah ibnu ‘Amru ibnul ’Ash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

خَيْرُ اْلأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ، وَخَيْر الْجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ [تَعَالَى] خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

Teman terbaik di sisi Allah adalah mereka yang terbaik dalam berinteraksi dengan temannya. Dan tetangga terbaik di sisi Allah adalah mereka yang terbaik dalam berinteraksi dengan tetangganya.” (Shahih) Lihat Ash Shahihah (103): [At Tirmidzi: 25-Kitab Al Birr wash Shilah, 28-Bab Maa Jaa-a fi Haqqil Jaar]

55- Bab Tetangga yang Shalih -64

[85/116]

Dari Nafi’ ibnu ’Abdil Harits berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ سعَاَدَةِ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ: الْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ

“Di antara kesenangan bagi seorang muslim adalah tempat tinggal yang luas, tetangga yang shalih dan kendaraan yang tenang.” (Shahih Lighairihi, yakni shahih dilihat dari jalur lainnya) Lihat Ash Shahihah (282)

56- Bab Tetangga yang Jelek -65

[86/117]

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Salah satu doa yang dipanjatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah,

اللّهُمَّ! إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ جَارِ السُّوْءِ فِي دَارِ الْمُقَامِ فَإِنَّ جَارَ الدُّنْيَا يَتَحَوَّلُ

’Allahumma inni a’uuzubika min jaaris-su`i fi daaril-muqaam fa inna jaarad-dun-ya yatahawwal.’ [Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari tetangga yang buruk di akhirat karena tetangga di dunia akan senantiasa berubah-ubah].” (Hasan) Lihat Ash Shahihah (1443): [An Nasa’i: 50-Kitab Al Isti’adzah, 42-Bab Al Isti’adzah min Jaaris Suu’]

[87/118]

Dari Abu Musa, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

لا تقوم الساعة حتى يقتل الرجل جاره وأخاه وأباه

”Hari kiamat tidak akan terjadi sampai seseorang membunuh tetangga, saudara atau ayahnya.” (Hasan) Ash Shahihah (3185)

57- Bab Tidak Boleh Mengganggu Tetangga -66

[88/119]

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada seseorang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ياَ رَسُوْلَ اللهِ ! إِنَّ فُلاَنَةَ تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَتَصُوْمُ النَّهَارَ، وَتَفْعَلُ، وَتَصَدَّقُ، وَتُؤْذِيْ جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا؟

’Wahai Rasulullah, si fulanah sering melaksanakan shalat di tengah malam dan berpuasa sunnah di siang hari. Dia juga berbuat baik dan bersedekah, tetapi lidahnya sering mengganggu tetangganya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ

“Tidak ada kebaikan di dalam dirinya dan dia adalah penduduk neraka.”

Para sahabat lalu berkata,

وَفُلاَنَةُ تُصَلِّي الْمَكْتُوْبَةَ، وَتُصْدِقُ بِأَثْوَارٍ ، وَلاَ تُؤْذِي أَحَداً؟

Terdapat wanita lain. Dia (hanya) melakukan shalat fardhu dan bersedekah dengan gandum, namun ia tidak mengganggu tetangganya.”

Beliau bersabda,

هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Dia adalah dari penduduk surga.” (Shahih) Lihat Ash Shahihah (190)

[89/121]

Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Seorang yang senantiasa mengganggu tetangganya niscaya tidak akan masuk surga.” (Shahih) Lihat As Silsilah Ash Shahihah (549): [Muslim: 1-Kitabul Iman, hal. 73]